Sumber : Pendalaman-Tokoh.blogspot.com
Jalan hidup Khalid memang menakjubkan. Sebelum memeluk Islam, ia seorang
pembunuh kejam yang menggetarkan kaum Muslimin dalam Perang Uhud.
Setelah masuk Islam, ia berbalik menjadi pembunuh yang membinasakan
musuh-musuh Islam pada hari-hari selanjutnya.
Marilah kita
ceritakan kisahnya sejak awal. Tetapi, dari permulaan yang mana?
Pasalnya, ia sendiri hampir tidak tahu di mana kehidupannya bermula,
kecuali pada hari ia bersalaman dan berjabat tangan dengan Rasulullah
untuk berbaiat masuk Islam.
Seandainya ia mampu, ia ingin
sekali mengikis habis semua peristiwa dan kejadian masa lalu dalam
sejarah hidupnya sebelum hari keislamannya itu. Bila demikian, marilah
kita mulai saja dari peristiwa yang mengesankannya, saat-saat gemilang
yang membahagiakan, ketika hatinya tunduk kepada Allah, dan jiwanya
menemukan sentuhan rahmat-Nya Yang Maha Pengasih. Jiwanya memancarkan
kerinduan kepada agama-Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada keinginan
meraih kesyahidan agung di jalan kebenaran, guna menebus dan membuang
jauh-jauh semua dosa dan kekeliruannya pada masa yang lalu dalam
mempertahankan kebathilan.
Suatu hari ia melakukan dialog
dengan dirinya sendiri dan memutar akal batinnya yang sehat untuk
merenungkan agama baru, yang panji-panji kebenarannya selalu bertambah
cemerlang hari demi hari, semakin tinggi menjulang. Ia memohon kepada
Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, agar memberikan petunjuk,
yang akan menjadi keyakinan yang bercahaya di dalam hatinya dan
membahagiakan. Ia berkata kepada dirinya, “Demi Allah, sungguh telah
nyata bukti-buktinya. Sungguh, lelaki itu seorang utusan. Lalu, sampai
kapan? Demi Allah, aku akan bangkit untuk masuk Islam.”
Mari
kita dengarkan ia menceritakan perjalanannya yang penuh berkah kepada
Rasulullah dari Mekkah ke Madinah, guna mengambil tempatnya kelak dalam
kafilah kaum Muslimin, “Aku menginginkan seseorang yang akan menjadi
teman seperjalanan, dan aku menjumpai Utsman bin Thalhah. Aku
menceritakan kepadanya apa maksudku, dan ia pun segera menyetujuinya.
Kami berangkat bersama-sama ketika hari sudah hampir siang. Ketika kami
sampai di suatu dataran tinggi, tiba-tiba kami bertemu dengan Amr bin
Al-Ash. Ia mengucapkan salam dan kami membalasnya. Kemudian ia bertanya,
‘Ke manakah kalian hendak pergi?’ Kami pun menceritakan tujuan kami
kepadanya dan ia juga mengutarakan maksudnya untuk menjumpai Nabi,
hendak masuk Islam.
Kami pun berangkat bersama-sama dan
sampai di kota Madinah pada awal hari bulan Safar 8 H. ketika aku telah
dekat dengan Rasulullah, aku segera member salam kepada beliau. Nabi pun
membalas salamku dengan muka yang cerah. Aku pun masuk Islam dan
mengucapkan syahadat yang benar.
Rasulullah bersabda,
‘Sungguh, aku telah mengetahui bahwa engkau mempunyai akal sehat, dan
aku berharap, akal sehat itu hanya akan menuntunmu ke jalan yang baik.’
Aku berbaiat kepada Rasulullah dan berkata kepada beliau, ‘Mintakanlah
ampunan untuk saya atas semua tindakan masa laluku yang menghalangi
jalan Allah.’
Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya keislaman itu telah menghapuskan segala perbuatan yang lampau.’
Aku berkata, ‘Meski begitu, (mintakanlah ampunan untuk saya) wahai
Rasulullah.’ Beliau pun mengucapkan doa, ‘Ya Allah, aku meohon agar
Engkau mengampuni Khalid bin Al-Walid atas tindakannya menghalangi
jalan-Mu pada masa lalu.’
Setelah itu, Amr bin Al-Ash dan Utsman bin Thalhah bersama-sama memeluk Islam dan berjanji setia kepada Rasulullah.”
Apakah anda memperhatikan ucapannya kepada Rasulullah, “Mintakanlah
ampunan untukku atas semua tindakan masa laluku yang menghalangi jalan
Allah”? Orang yang memerhatikan ucapan tersebut dengan indera matanya
maupun indera batinnya akan dapat memehami dengan jelas riwayat hidup
orang yang sekarang menjadi pahlawan Islam dan Pedang Allah itu, yang
belum diketahuinya.
Setelah kisah kehidupan Khalid sampai
jenjang tersebut, ucapannya itulah yang akan menjadi dalil dan alasan
kita untuk memahami dan menafsirkan pendirian itu. Adapun sekarang,
Khalid yang telah masuk Islam karena kesadarannya itu, yang sebelumnya
kita lihat sebagai prajurit berkuda pembela kaum Quraish, kita saksikan
sekarang sebagai seorang ahli siasat perang dari Dunia Arab, yang telah
meninggalkan berhala pujaan nenek moyangnya dan kebanggaan kuno milik
bangsanya. Kemudian sekarang tampil seiman, dan satu derap dengan
perjuangan Rasulullah dan kaum Muslimin sebagai seorang ahli di bawah
naungan benderanya yang baru.
Takdir Allah telah
menentukannya akan bangkit berjuang di bawah panji-panji Nabi Muhammad
menegakkan kalimat tauhid. Sekarang bersama Khalid yang telah memeluk
Islam, kita akan menyaksikan hal-hal yang menakjubkan.
Masih
ingatkah anda, tiga orang syuhada perang Mu’tah? Mereka ialah Zaid bin
Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Mereka
semuanya adalah pahlawan Perang Mu’tah di bumi Syam. Untuk keperluan
peperangan ini, orang-orang Romawi telah mengerahkan sekitar 200 ribu
prajurit dan di sana pula kaum Muslimin menunjukkan prestasi gemilang.
Apakah anda juga masih ingat kata-kata Rasulullah sebagai pelipur lara
ketika kematian mereka sebagai syuhada; tiga orang pahlawan Perang
Mu’tah? Pada waktu itu beliau bersabda, “Panji perang di tangan Zaid bin
Haritsah. Ia bertempur sambil membawa panji perang hingga gugur.
Kemudian panji tersebut diambil Ja’far yang bertempur sambil membawa
panji perang hingga gugur pula. Kemudian giliran Abdullah bin Rawahah
memegang panji tersebut sambil bertempur maju, hingga ia gugur sebagai
syahid.”
Sebenarnya, masih ada yang tertinggal dari sabda
Rasulullah ini, yang sengaja penulis simpan untuk mengisi lembaran
berikut ini. Sisa yang tertinggal itu ialah:
“Kemudian panji itu pun diambil alih oleh salah satu pedang dari Pedang Allah, lalu Allah membukakan kemenangan di tangannya.”
Siapakah kiranya pahlawan itu? Dialah Khalid bin Al-Walid. Sebenarnya,
Khalid bin Al-Walid yang segera ikut menerjunkan diri ke dalam Perang
Mu’tah sesudah masuk Islam ini hanyalah prajurit biasa, di bawah tiga
panglima perang yang telah diangkat oleh Rasulullah, yaitu Zaid, Ja’far,
dan Ibnu Rawahah dan mereka bertiga telah menemui syahidnya menurut
urutan tersebut di medan perang yang dahsyat itu.
Setelah
tiga panglima perang tersebut gugur syahid, Tsabit bin Arqam bergegas
menuju bendera perang tersebut lalu membawanya dengan tangan kanannya
dan mengangkatnya tinggi-tinggi di tengah-tengah pasukan Islam agar
barisan mereka tidak kacau balau dan agar semangat pasukan tidak kendur.
Tidak lama sesudah itu, dengan gesit ia melarikan kudanya ke arah
Khalid, sembari berkata kepadanya, “Peganglah panji ini, wahai Abu
Sulaiman.”
Khalid merasa dirinya sebagai seorang yang baru
masuk Islam, tidak layak memimpin pasukan yang di dalamnya terdapat
orang-orang Anshar dan Muhajirin yang telah lebih dulu masuk Islam
daripada dirinya. Khalid memang memiliki karakter pribadi yang sopan,
rendah hati, bijaksana, dan kelebihan-kelebihan akhlak lainnya. Ketika
itu ia menjawab, “Tidak, aku tidak pantas memegang panji perang itu.
Engkaulah yang berhak memegangnya karena engkau lebih tua dan telah
menyertai Perang Badar.”
Tsabit menjawab, “Ambillah, sebab
kamu lebih tahu tentang strategi perang daripada aku, dan demi Allah aku
tidak akan mengambilnya, kecuali untukmu.”
Kemudian ia berseru kepada seluruh anggota pasukan Islam, “Apakah kalian bersedia bila dipimpin oleh Khalid?”
Mereka menjawab, “Ya!”
Prajurit yang jenius itu kini memegang amanah sebagai pemegang komando
perang. Ia memegang panji perang tersebut dengan tangan kanan dan
mengacungkan ke arah depan. Ia terlihat seperti hendak menjebol semua
pintu yang terkunci selama ini dan sudah datang saatnya untuk didobrak
dan diterjang melalui jalan panjang. Sejak saat itu, kepahlawanannya
yang luar biasa mencapai titik puncak yang telah ditentukan Allah
baginya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun sesudah wafat.
Khalid memegang tampuk kepemimpinan pasukan setelah kondisi pertempuran
terakhir telah memprihatinkan. Korban dari pihak kaum Muslimin banyak
berjatuhan, tubuh-tubuh mereka berlumuran darah, sedangkan tentara
Romawi dengan kuantitas yang jauh lebih besar, terus maju laksana banjir
yang menyapu medan. Dalam situasi yang demikian, tidak ada jalan dan
strategi perang yang mampu mengubah pertempuran yang akan berakhir
menjadi berbalik 180 derajat, yang menang jadi kalah dan yang kalah
menjadi menang.
Satu-satunya jalan yang dapat diharapkan
dari seorang pahlawan ialah bagaimana melepaskan tentara Islam ini dari
kemusnahan total, dengan menghentikan korban yang terus berjatuhan, dan
keluar dengan sisa-sisa yang ada dengan selamat, mengundurkan diri
secara cepat dan teratur, yang dapat menghalangi kehancuran massal di
medan tempur itu. Namun, mundur dalam situasi seperti itu termasuk
perkara yang mustahil. Tetapi, bila benar apa yang dikatakan orang bahwa
tidak ada yang mustahil bagi hati yang pemberani, siapa lagi orang yang
lebih berani hatinya daripada Khalid? Adakah orang yang kepahlawanannya
lebih hebat, dan pandangannya lebih tajam daripada dirinya?
Saat itu Pedang Allah tersebut mengamati seluruh medan tempur yang luas
itu dengan kedua matanya yang tajam laksana mata burung elang. Ia
mengatur rencana dan langkah yang akan diambil secepat kilat. Ia membagi
pasukannya ke dalam kelompok-kelompok besar dalam suasana perang
berkecamuk terus. Setiap kelompok diberinya tugas masing-masing.
Kemudian Khalid mempergunakan keahlian perangnya yang membawa mukjizat,
dan kecerdikan akalnya yang luar biasa, sehingga akhirnya dengan izin
Allah, ia berhasil membuka jalur luas di antara barisan pasukan Romawi.
Dari jalur tersebut seluruh sisa pasukan Islam dapat keluar meloloskan
diri dengan selamat. Keberhasilan ini adalah berkat kepahlawanannya,
berkat keberanian disertai kecerdikan dan kecepatan bertindak tepat yang
tidak dapat dilupakan dalam sejarah. Karena pertempuran inilah,
Rasulullah menganugerahkan gelar “Si Pedang Allah yang selalu terhunus”
kepadanya.
Dalam peristiwa lain, pada saat orang-orang
Quraish menodai perjanjian damainya dengan Rasulullah, kaum Muslimin di
bawah pimpinan Rasulullah berangkat untuk membebaskan Mekkah. Di bagian
sayap kanan pasukan, Rasulullah mengangkat Khalid bin Al-Walid sebagai
pemimpinnya. Khalid memasuki Mekkah sebagai salah seorang pemimpin
pasukan Islam, sesudah selama ini dataran dan gunung-gunungnya
menyaksikannya sebagai pemimpin tentara paganis dan penganut syirik. Ia
teringat kenangan masa kanak-kanaknya, saat ia sedang bermain-main
dengan manjanya, dan kenangan masa muda yang menghabiskan waktu hanya
untuk perbuatan sia-sia. Segala kenangan masa lalu yang panjang datang
kembali kepadanya, di mana usianya hilang percuma untuk pengorbanan
sia-sia bagi berhala-berhala yang lemah tidak berdaya.
Sebelum penyesalannya kian parah, hatinya terbangun sadar oleh himbauan
kesaksian hebat dan kebesarannya, yaitu kesaksian dari cahaya yang
menerangi Mekkah. Kesaksian nyata bagaimana orang-orang lemah yang
diperlakukan semena-mena, menanggung derita dan ancaman, sekarang
kembali ke kampung halaman mereka dari tempat mereka diusir secara
Aniaya dan kejam. Mereka kembali ke sana dengan mengendarai kuda mereka
yang meringkik berdengusan serta di bawah panji-panji Islam yang
berkibaran. Suara-suara yang mereka berbisik di Darul Al-Arqam dulu,
sekarang berubah menjadi takbir yang gemuruh dan menggetarkan Mekkah,
disertai bahana tahlil kemenangan. Alam pun seperti ikut menyertai
suasana gembira mereka, semuanya seolah-olah berhari raya.
Bagaimanakah proses keajaiban itu berlangsung? Dan ulasan apakah kiranya
yang pantas untuk peristiwa agung itu? Tidak ada yang lain, kecuali
yang sedang diucapkan oleh mereka yang sedang berjalan berduyun-duyun di
sela-sela suara tahlil dan takbir mereka, di kala mereka berpandang
satu sama lain dengan gembira:
وَعْدَ اللَّهِ ۖ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
QS:Ar-Ruum | Ayat: 6
Khalid mengangkat kepala serta menengadahkannya, lalu memandang penuh
bangga dan ridha kepada bendera-bendera Islam yang memenuhi angkasa,
seraya berkata kepada dirinya sendiri, “Benar bahwa itu janji Allah, dan
Allah tidak pernah menyalahi janji-Nya.”
Kemudian ia
menundukkan kepala karena rasa syukur dan terharu terhadap nikmat Ilahi
yang telah memberinya petunjuk masuk Islam dan yang telah membuatnya
menjadi salah seorang pembawa agama Islam ke Mekkah pada hari kemenangan
yang besar ini; bukan dari golongan orang-orang yang masuk Islam karena
pengaruh kemenangan islam.
Khalid selalu berada di samping
Rasulullah, menyerahkan semua tenaga dan kemampuannya yang luar biasa
untuk berbakti kepada agama yang telah diimaninya dengan penuh
keyakinan, dan yang seluruh kehidupannya didermakan untuknya.
Setelah Rasulullah wafat, memenuhi panggilan Allah Yang Maaha Pengasih
lagi Maha Tinggi, Abu Bakar Ash-Shiddiq memikul tanggung jawab
kekhalifahan. Badai kemurtadan bertiup kencang dengan tipu dayanya,
hendak menghancurkan agama yang baru dengan semboyannya yang berbisa dan
propagandanya yang merusak dan membinasakan. Di awal kegemparan yang
mengejutkan ini, Abu Bakar menolehkan mata dan perhatiannya pertama
kepada seorang pejuang yang tepat, seorang lelaki pilihan, Abu Sulaiman,
Si Pedang Allah, Khalid bin Al-Walid.
Memang benar, bahwa
Abu Bakar telah mulai memerangi kaum murtad dengan pasukan yang
dipimpinnya sendiri, tetapi hal ini tidak bertentangan dengan rencananya
untuk mempersiapkan Khalid untuk suatu hari yang menentukan nanti,
yakni menentukan kalah menangnya dalam peperangan terbesar menghadapi
orang-orang murtad itu, di mana ia merupakan bintang lapangan dan
pahlawan yang ulung.
Saat golongan kaum murtad bersiap-siap
melaksanakan hasil keputusan persekongkolan mereka yang besar, Khalifah
Abu Bakar bertekad memimpin sendiri pasukan kaum Muslimin. Para shahabat
senior berusaha menghalangi maksudnya itu, tetapi sia-sia dan justru
menambah kebulatan tekadnya. Maksud Khalifah Abu Bakar dengan cara ini
kemungkinan untuk mewarnai pertempuran dengan corak khusus dan arti yang
penting, yang dapat mendorong orang-orang untuk menyertainya. Hal ini
hanya dapat dikuatkan dengan partisipasi nyata dari beliau dalam perang
yang dahsyat, yakni dengan memimpinnya langsung, baik atas sebagian
maupun atas seluruh kekuatan umat. Sungguh, jalannya peperangan tersebut
akan menentukan timbul tenggelamnya kekuatan iman menghadapi kekuatan
murtad yang sesat.
Fenomena kemurtadan yang terjadi di
mana-mana secara serentak ini sangat mengkhawatirkan, walaupun pada
mulanya tampak sebagai pembangkangan saja. Dalam situasi seperti ini,
kabilah-kabilah yang selama ini ingin membalas dendam terhadap Islam,
maupun yang selalu mengintai kelemahannya, sekarang mendapat kesempatan
istimewa atau peluang baru untuk memberontak, tanpa kecuali apakah
mereka kabilah Arab pedalaman maupun yang tinggal di perbatasan, di mana
masih bercokol kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Persia dan Romawi.
Kerajaan-kerajaan tersebut telah merasakan kebangkitan kekuatan Islam
yang menjadi bahaya dan ancaman terhadap kekuasaannya. Karena itu,
sebagai dalang di belakang layar, mereka dengan sengaja mengobarkan dan
menyebarkan berbagai macam fitnah.
Demikianlah, api fitnah
berkobar di kalangan suku-suku Asad, Ghathafan, Abas, Thayyi’, dan
Dzibyan, kemudian menjalar ke kabilah-kabilah Bani Amir, Hawazin, Salim,
dan Bani Tamim. Fitnah ini diawali dengan terjadinya
bentrokan-bentrokan senjata yang kecil, yang kemudian berubah menjadi
pertempuran besar yang melibatkan kekuatan pasukan sampai puluhan ribu
tentara.
Persekongkolan yang mengerikan itu segera mendapat
dukungan dari penduduk Bahrain, Oman, dan Muhrah. Sekarang Islam
benar-benar menghadapi bahaya besar, dan api peperangan itu telah
dinyalakan di sekeliling kaum Muslimin. Tetapi, Allah menyiapkan Abu
Bakar.
Beliau menyiapkan pasukan kaum Muslimin dan sekaligus
memimpinnya menuju kabilah-kabilah Bani Abas, Muhrah, dan Dzibyan yang
tampil sebagai pasukan kuat. Pertempuran pun terjadi, dan akibatnya
Islam dapat mencatat kemenangan besar dan mantap. Tetapi, pasukan yang
menang ini tidak sempat beristirahat lama di Madinah, karena Khalifah
harus mengerahkannya lagi untuk menghadapi pertempuran berikutnya.
Berita-berita tentang pembangkangan kaum dan suku setiap saat tampaknya
semakin berbahaya. Abu Bakar sendiri maju memimpin pasukan yang kedua
ini, tetapi para shahabat utama tidak bisa menahan kesabaran mereka.
Semuanya sepakat untuk meminta Khalifah agar tetap tinggal di Madinah.
Ali terpaksa menghadang Abu Bakar dan memegang tali kekang kuda yang
sedang ditungganginya untuk mencegah keberangkatannya bersama pasukan,
sembari berkata, “Hendak ke manakah engkau, wahai Khalifah Rasulullah?
Kukatakan kepadamu apa yang pernah disabdakan Rasulullah pada hari Uhud,
‘Simpanlah pedangmu, wahai Abu Bakar. Janganlah engkau cemaskan kami
dengan dirimu’.”
Di hadapan desakan dan suara bulat kaum
Muslimin, Khalifah terpaksa menerima untuk tinggal di Madinah. Beliau
membagi tentara Islam menjadi sebelas kesatuan, masing-masing dibebani
tugas tertentu, dan sebagai komando tertinggi untuk keseluruhan kasatuan
itu ia mengangkat Khalid bin Al-Walid. Setelah menyerahkan bendera
pasukan kepada tiap-tiap komandonya, Khalifah menghadapkan wajahnya
kepada Khalid, dan berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,
‘Bahwa sebaik-baik hamba Allah dan teman sepergaulan, ialah Khalid bin
Al-Walid, sebilah pedang di antara pedang-pedang Allah yang ditebaskan
kepada orang-orang kafir dan munafik!’”
Khalid pun segera
menjalankan tugasnya, berpindah-pindah bersama pasukannya dari satu
pertempuran ke pertempuran yang lain; dari satu kemenangan ke kemenangan
berikutnya, sampai berakhir dengan pertempuran yang menentukan, yakni
di Yamamah. Bani Hanifah bersama kabilah-kabilah yang telah bergabung
dengan mereka telah membangun persekutuan tentara murtad yang sangat
berbahaya dan dikepalai oleh Musailamah Al-Kadzab. Beberapa kesatuan
Islam telah mencoba kekuatan mereka, tetapi tidak berhasil.
Perintah Khalifah telah dititahkan kepada panglimanya yang beruntung itu
agar berangkat kepada Bani Hanifah itu. Khalid pun bergerak maju, dan
ketika Musailamah mengetahui bahwa Khalid sedang di tengah perjalanan
menuju tempatnya, kembali ia memperkuat susunan pasukannya, karena ia
menganggapnya sebagai bahaya dahsyat dan musuh yang sangat kuat.
Kedua pasukan telah berhadap-hadapan dan saat anda membaca buku-buku
riwayat dan sejarah tentang jalannya pertempuran yang sengit itu, anda
pasti merasa ngeri karena anda seolah-olah sedang menyaksikan suatu
pertempuran yang menyerupai perang masa kini dalam kekerasan dan
kekejamannya, sekalipun berbeda jenis senjata dan sarana perang yang
dipergunakan.
Khalid mengambil posisi dengan pasukannya di
dataran bukit-bukit pasir Yamamah, sedangkan Musailamah manghadapinya
dengan segala kecongkakan dan kedurjanaannya bersama barisan tentaranya
yang banyak seakan-akan tidak habisnya. Khalid segera menyerahkan
panji-panji perang kepada setiap komando pasukannya. Kedua pihak itu pun
saling serang dan bertempur rapat. Perang berkecamuk tiada hentinya,
korban dari pihak kaum Muslimin susul-menyusul berguguran laksana
bunga-bunga di taman yang berjatuhan ditiup angin topan.
Khalid telah melihat keunggulan musuh, ia lalu memacu kudanya ke suatu
tanah tinggi yang terdekat, pandangannya yang diliputi ketajaman dan
kecerdasan dengan cepat mengawasi seluruh medan tempur. Secepat itu pula
ia dapat menangkap dan menyimpulkan titik kelemahan pasukannya.
Ia dapat merasakan tanggung jawab yang melemah di kalangan prajuritnya
di bawah serbuan-serbuan mendadak yang dilakukan pasukan Musailamah.
Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk memperkuat semangat tempur
kaum Muslimin dan tanggung jawab mereka setinggi mungkin. Ia memanggil
semua komando garis depan dan sayap, menertibkan posisi masing-masing di
medan tempur, dan kemudian berteriak dengan suaranya yang mengesankan
kemenangan, “Tunjukkanlah kelebihanmu masing-masing. Hari ini kita akan
melihat jasa setiap suku.”
Setiap suku tampil dengan
kelebihannya masing-masing. Orang-orang Muhajirin maju dengan
panji-panji perang mereka dan orang-orang Anshar pun maju di bawah
panji-panji mereka. Seharusnya setiap kelompok suku dengan panji-panji
tersendiri. Demikianlah, hingga jelas nanti, dari mana datangnya
kekalahan itu. Semangat juang menyala dalam jiwa, penuh dengan kebulatan
tekad dan mengejutkan musuh.
Khalid tidak henti-hentinya
menggemakan tahlil dan takbir atau mengeluarkan perintah yang
menentukan, sehingga pedang-pedang pasukannya berubah bagai maut yang
tidak dapat ditolak kehendaknya, dan tidak dapat diubah tujuannya. Dalam
waktu yang singkat, berubahlah arah pertempuran. Prajurit-prajurit
Musailamah mulai roboh berjatuhan, dari puluhan hingga ratusan kemudian
ribuan, laksana lalat-lalat yang menggelepar.
Khalid telah
menyalakan semangat keberaniannya seperti aliran listrik kepada setiap
prajuritnya. Jiwanya telah menempati setiap prajurit pasukannya dan
itulah salah satu keistimewaannya yang menakjubkan. Demikianlah jalan
pertempuran yang paling menegangkan dan menyeramkan melawan orang-orang
murtad itu. Musailamah tewas dan mayat-mayat anak buah dan para
prajuritnya bergelimpangan memenuhi seluruh medan perang, dan di tempat
itulah bendera-bendera yang menyerukan kebohongan dan kepalsuan dikubur
selama-lamanya.
Di Madinah Khalifah Abu Bakar shalat syukur
kepada Dzat Yang Maha Agung dan Maha Tinggi karena dikaruniai kemenangan
tersebut dan pahlawan perkasa ini.
Khalifah Abu Bakar
dengan kecerdasan dan ketajaman pandangannya telah mengetahui
kekuatan-kekuatan jahat yang masih bercokol di sekitar negerinya yang
merupakan bahaya besar yang mengancam kelangsungan hidup Islam dan
pemeluknya, yaitu Persia di Iraq dan Romawi di Syria. Kekaisaran yang
sudah tua dan lemah ini selalu mengintai kelemahan umat Islam dan
menjadi pusat penyebaran kekacauan. Keduanya saling berhubungan meski
dengan ikatan yang lapuk dari kejayaan mereka pada masa lampau. Mereka
memeras dan menyiksa rakyat Iraq dan Syria, serta merendahkan martabat
mereka, bahkan mengerahkan rakyat yang sebagian besar di antaranya
adalah orang-orang Arab untuk memerangi kaum Muslimin.
Dengan panji-panji agama baru, kaum Muslimin bermaksud meruntuhkan
benteng-benteng peradaban kuno serta mengikis habis segala bentuk
kejahatan dan kekejamannya. Ketika itulah, Khalifah Abu Bakar yang agung
dan diberkahi menjatuhkan pilihannya kepada Khalid untuk berangkat
dengan pasukannya menuju Iraq. Pahlawan ini segera menjalankan titah dan
berangkat ke Iraq.
Sayang halaman ini tidak cukup untuk
menuliskan setiap kemenangan pasukannya di segala tempat. Andainya
cukup, tentulah akan kita lihat hal-hal yang sangat mengagumkan. Ia
memulai operasi militernya di Iraq dengan mengirim surat ke seluruh
pembesar Kisra dan gubernur-gubernurnya di semua wilayah Iraq dan
kota-kotanya, sebagai berikut:
“Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin Al-Walid kepada
pembesar-pembesar Persia. Keselamatan bagi siapa yang mengikuti
petunjuk. Amma ba’d,
Segala puji bagi Allah yang telah
memporak-porandakan kaki tangan, dan merenggut kerajaan, serta
melemahkan tipu muslihat kalian. Siapa yang shalat seperti shalat kami,
dan menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami, ia menjadi
seorang Muslim. Ia akan mendapat hak seperti hak yang kami dapatkan, dan
ia berkewajiban seperti kewajiban kami. Bila tela sampai kapada kalian
suratku ini, hendaklah kalian kirimkan kepadaku jaminan, dan terimalah
perlindungan dariku. Jika tidak, demi Allah yang tiada Ilah yang berhak
disembah selain Dia, aku akan mengirimkan kepada kalian satu kaum berani
mati, padahal kalian masih sangat mencintai hidup.”
Para
mata-mata yang disebarkan ke seluruh penjuru datang menyampaikan berita
tentang keberangkatan pasukan besar yang dipersiapkan oleh
panglima-panglima Persia di Iraq.
Khalid tidak
membuang-buang waktu, dengan cepat ia mempersiapkan pasukannya untuk
menumpas kebathilan, sedangkan jarak perjalanan dapat ditempuhnya dalam
waktu singkat. Kemenangan demi kemenangan dicapai oleh pasukan
ekspedisinya, sejak dari Ubullah ke Sadir, disusul oleh Najaf, lalu
Hirah, kemudian Al-Anbar sampai ke Kazhimiah. Di setiap tempat ia
disambut oleh wajah berseri karena gembira. Bendera dan panji-panji
Islam pun naik, di bawahnya berlindung orang lemah yang tertindas
penjajahan Persia.
Rakyat yang lemah dan terjajah selama ini
mengalami derita perbudakan dan penyiksaan dari orang Persia.
Bandingkanlah itu dengan peringatan keras dari Khalid kepada seluruh
anggota pasukannya setiap kali akan berangkat, “Janganlah kalian
menyakiti para petani. Biarkanlah mereka bekerja dengan aman, kecuali
bila di antara mereka ada yang hendak menyerang kalian. Perangilah orang
menyerang kalian!”
Ia meneruskan perjalanan dengan
pasukannya yang telah memenangkan peperangan seperti mata pisau tajam
mengiris permukaan susu yang membeku, hingga sampailah ia ke perbatasan
negeri Syam.
Ketika itu berkumandanglah suara takbir dari
muazin disertai takbir orang yang menang perang. Menurut anda, apakah
orang-orang Romawi mendengarnya di Syam? Apakah mereka menyadari bahwa
takbir ini merupakan bunyi lonceng kematian dan akhir dunia kekejaman?
Benar, mereka telah mendengarnya. Mereka kaget dan merasa ciut. Mereka
telah memutuskan dengan membabi buta untuk terjun ke medan perang
disebabkan rasa putus asa dan sia-sia.
Kemenangan yang
diperoleh orang-orang Islam di Iraq dari orang Persia menimbulkan
harapan diperolehnya kemenangan yang sama dari orang Romawi di Syria.
Abu Bakar telah mengerahkan sejumlah pasukan dan untuk mengepalainya
dipilihnya dari kelompok panglima-panglima mahir, seperti Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah, dan Amr bin Al-Ash, Yazid bin Abu Sufyan, kemudian
Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Ketika berita gerakan tentara ini
sampai ke pendengaran Kaisar Romawi, ia menitahkan kepada para menteri
dan jenderalnya agar berdamai saja dengan kaum Muslimin dan tidak
melibatkan diri dalam peperangan yang hanya menimbulkan kerugian.
Tetapi, para menteri dan jenderalnya dengan gigih bersikeras hendak
meneruskan perang sambil berkata, “Demi Tuhan, kita akan membuat Abu
Bakar kewalahan, sehingga ia tidak mampu mendatangkan pasukan berkudanya
ke negeri kita.”
Mereka menyiapkan tidak kurang dari 240
ribu tentara untuk peperangan ini. Pemimpin-pemimpin pasukan tentara
Islam mengirimkan gambaran tentang situasi gawat ini kepada Khalifah.
Karenanya, Abu Bakar berkata, “Demi Allah, semua kekhawatiran dan
keraguan meraka akan kusembuhkan dengan kedatangan Khalid!”
Kekhawatiran yang dimaksud adalah kesewenang-wenangan, permusuhan, dan
kesyirikan. Kesembuhan dari kekhawatiran itu ialah perintah berangkat ke
Syam dari Khalifah kepada Khalid untuk mengepalai seluruh pasukan Islam
yang sudah mendahuluinya berada di sana. Dan alangkah cepatnya Khalid
mematuhi perintah itu. Ia segera menyerahkan pimpinan Iraq kepada
Mutsanna bin Haritsah, dan dengan cepatnya ia berangkat bersama
prajurit-prajurit pilihannya, hingga sampai ke tempat kaum Muslimin di
negeri Syam. Dengan keahlian yang luar biasa, dalam waktu singkat ia
menyusun pasukan Islam dengan menertibkan posisinya.
Di
medan perang dan sebelum pertempuran dimulai, ia berdiri di
tengah-tengah prajurit Islam untuk berpidato. Ia berkata, sesudah memuji
Allah dan bersyukur kepada-Nya, “Hari ini adalah hari-hari Allah. Tidak
pantas kita di sini berbangga-bangga dan berbuat durhaka. Ikhlaskanlah
jihad kalian, dan harapkan ridha Allah dengan amal kalian! Mari kita
bergantian memegang pimpinan. Hari ini salah seorang memegang pimpinan,
besok yang lain, lusa yang lain lagi, sehingga seluruhnya mendapat
kesempatan memimpin.”
“Hari ini adalah hari-hari Allah.”
Alangkah hebatnya kata-kata itu sejak awal mendengarnya. “Tak pantas
kita di sini, berbangga-bangga dan durhaka.” Kalimat ini lebih
menakjubkan dan menunjukkan kewara’an yang sempurna.
Panglima yang agung, cerdas, dan penuh vitalis itu tidak kurang dari
sifat itsar (mendahulukan orang lain). Sekalipun Khalifah telah
mengangkatnya untuk mengepalai seluruh pasukan tentara dengan membawahi
para panglima, karena ia tidak ingin menjadi pembantu setan atas
pribadi-pribadi shahabatnya, ia pun bersedia turun dari pucuk jabatan
yang telah dipercayakan Khalifah secara mutlak. Ia menjadikan
kepemimpinan itu bergiliran. Hari ini seorang amir, besok amir yang
kedua, dan lusa amir yang lain pula, dan begitulah seterusnya.
Jumlah tentara Romawi yang besar dan amunisi mereka yang lengkap
merupakan suatu yang sangat mengecutkan. Pemimpin-pemimpin mereka yakin
bahwa waktu berada di pihak kaum Muslimin, dan bahwa berlarut-larutnya
peperangan dan banyaknya medan tempur akan membantu kemenangan yang
mantap bagi kaum Muslimin. Karena itu, mereka memutuskan untuk
menghimpun seluruh kekuatan mereka pada suatu medan tempur saja, dengan
mempersiapkan satu lapangan jebakan bagi orang-orang Arab.
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang Islam pun sebelum kedatangan
Khalid bin Al-Walid merasa gentar dan cemas, menyebabkan rasa gelisah
dan keluh kesah memenuhi jiwa mereka. Tetapi, iman mereka membuat ringan
segala pengabdian dalam suasana gelap gulita seperti itu, dan tiba-tiba
fajar harapan dan kemenangan meliputi mereka dengan cahayanya.
Bagaimanapun hebatnya orang-orang Romawi dan tentaranya, Abu Bakar
telah berkata, “Khalid akan menyelesaikannya.” Ia mengatakan itu karena
benar-benar mengetahui keadaan orang-orangnya, dan ia menambahkan, “Demi
Allah, segala kekhawatiran mereka akan kulenyapkan dengan Khalid!
Biarkan orang-orang Romawi dengan segala kehebatannya itu datang!
Bukankah ada ‘penangkal’ bersama kaum Muslimin?”
Ibnul Walid
mempersiapkan tentaranya dengan membagi menjadi beberapa kesatuan
besar. Ia mengatur kembali langkah-langkah taktis dan strategis untuk
menyerang dan bertahan, untuk menandingi strategi Romawi, seperti yang
telah dialaminya dari rekan-rekannya orang Persia di Iraq. Ia juga
memetakan setiap kemungkinan dari peperangan ini.
Yang
menakjubkan, peperangan itu berjalan tepat seperti yang dipetakan dan
diharapkan oleh Khalid. Langkah demi langkah, gerakan demi gerakan sma
persis, sehingga seandainya ia memperkirakan berapa banyaknya pukulan
pedang di pertempuran itu, perhitungannya tidak akan keliru. Setiap
maneuver yang dinanti-nantikannya dari orang-orang Romawi, ternyata
mereka melakukannya juga dan setiap setiap taktik mundur yang
diperkirakan akan terjadi, itu benar-benar mereka lakukan.
Sebelum terjun ke kancah peperangan, ada satu hal yang mengganggu
pikirannya, yaitu kemungkinan sebagian anggota pasukannya melarikan
diri, terutama mereka yang baru saja masuk Islam, sesudah mereka
menyaksikan kehebatan dan keseraman tentara Romawi. Rahasia setiap
kemenangan gemilang yang diperoleh Khalid dalam peperangan ialah tsabat,
dalam arti tetap tabah dan disiplin. Ia memandang bahwa larinya dua
atau tiga orang prajurit dari kesatuan akan menyebarkan kepanikan dan
kekacauan di seluruh kesatuan.
Ini dapat berakibat fatal dan
merupakan bencana yang mungkin tidak bisa ditimbulkan oleh seluruh
kesatuan musuh. Oleh sebab itu, tindakannya sangat tegas dan keras
sekali terhadap mereka yang membuang senjata dan berpaling melarikan
diri.
Pada pertempuran ini sendiri, yaitu pertempuran
Yarmuk, sesudah seluruh pasukannya mengambil posisinya, ia memanggil
perempuan-perempuan Muslim dan untuk pertama kalinya ia mempersenjatai
kaum wanita. Mereka diperintahkan untuk berada di belakang barisan
pasukan Islam di setiap penjuru, sambil berpesan kepada mereka,”Siapa
yang melarikan diri, bunuhlah dia!” sungguh, suatu akal bijak yang
membuahkan hasil terbaik.
Ketika pertempuran hampir
berlangsung, panglima Romawi meminta Khalid tampil ke depan, karena ia
ingin berbicara kepadanya. Khalid pun muncul dan keduanya
berhadap-hadapan di atas punggung kuda masing-masing, yakni pada suatu
lapangan kosong di antara kedua pasukan besar. Panglima pasukan Romawi
yang bernama Mahan itu pun berkata, “Kami mengetahui bahwa yang
mendorong kalian ke luar dari negeri kalian tidak lain hanyalah
kelaparan dan kesulitan. Jika kalian setuju, saya akan memberikan 10
dinar lengkap dengan pakaian dan makanan kepada tiap-tiap kalian,
asalkan kalian mau kembali ke negeri kalian. Di tahun yang akan datang,
aku akan mengirimkan sebanyak itu pula.”
Mendengar hal itu,
bukan main marahnya Khalid. Tetapi, ia tahan kemarahannya sambil
menggertakan gigi. Ia menganggap kata-kata panglima Romawi itu merupakan
bentuk kekurangajaran, lalu memutuskan untuk menjawabnya dengan
kata-kata yang sesuai, sehingga ia berkata, “Yang mendorong kami dari
negeri kami, bukan karena lapar seperti yang anda sebutkan tadi,
melainkan kami adalah satu bangsa yang biasa minum darah. Kami tahu
benar bahwa tidak ada darah yang lebih manis dan lebih baik daripada
darah orang-orang Romawi, karena itulah kami datang!”
Panglima Khalid menggertakkan tali kekang kudanya, sambil kembali ke
pasukannya. Ia mengangkat bendera tinggi-tinggi memberitahukan bahwa
pertempuran segera dimulai. “Allah Akbar…, berhembuslah angin surga!”
pasukannya pun maju menyerbu laksana peluru yang ditembakkan.
Pertempuran yang tiada tandingannya berlangsung mencapai puncaknya.
Orang-orang Romawi datang menghadang dengan kesatuan-kesatuan pasukan
besar yang menggunung. Tetapi, nyata dan jelas bagi orang-orang itu
sesuatu yang tidak mereka duga-duga dari kaum Muslimin. Para pahlawan
itu telah melukiskan gambar pejuangan yang mengagumkan dengan
pengorbanan dan keteguhan hati.
Saat pertempuran berkecamuk,
salah seorang dari mereka mendekati Abu Ubaidah bin Al-Jarrah sembari
berkata, “Aku sudah bertekad mati syahid, apakah engkau mempunyai pesan
penting yang akan kusampaikan kepada Rasulullah, bila aku menemuinya
nanti?” Abu Ubaidah menjawab, “Ada, katakana kepada beliau, ‘Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami telah menemukan bahwa apa yang dijanjikan
Allah kepada kami, memang benar!’”
Lelaki itu pun langsung
melesat maju menyerang bagai anak panah lepas dari busurnya. Ia menyerbu
ke tengah-tengah pertempuran dahsyat, merindukan tempat peraduan dan
pembaringannya. Ia menyerang dengan sebilah pedang, dan dilawan oleh
seribu pedang, hingga menemui kesyahidan.
Itulah dia Ikrimah
bin Abu Jahal. Dia memang anak Abu Jahal. Ketika tekanan orang Romawi
semakin berat, ia berseru kepada kaum Muslimin dengan suara lantang,
“Sungguh, aku telah lama memerangi Rasulullah pada masa yang lalu
sebelum Allah memberikan petunjuk kepadaku untuk masuk Islam. Apakah
pantas aku lari dari musuh-musuh Allah hari ini?”
Kemudian
ia berteriak, “Siapakah yang bersedia dan berjanji untuk mati?” sejumlah
orang berjanji kepadanya untuk berjuang sampai mati, kemudian mereka
menyerbu ke jantung pertempuran bersamaan. Bukan hanya mencari
kemenangan, melainkan bila kemenangan itu harus ditebus dengan jiwa dan
raga, mereka sudah siap untuk mati syahid. Allah telah menerima
pengorbanan dan baiat mereka. Mereka semuanya gugur syahid.
Ada pula orang-orang yang luka berat. Seseorang membawakan air kepada
salah seorang yang terluka, namun ia member isyarat agar air itu
diberikan kepada temannya yang berdekatan lebih dulu karena lukanya
lebih berat. Ketika orang yang dimaksud ditawari air, ia mengisyaratkan
pula agar diberikan kepada yang lain, dan ketika orang yang dituju
didatangi, ia pun lebih mengutamakan orang lain, dan begitulah
seterusnya. Itulah yang terjadi. Mereka rela menderita kehausan sewaktu
ruh-ruh mereka melayang. Inilah contoh teladan yang paling indah tetang
pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain.
Peperangan Yarmuk benar-benar tempat pengorbanan yang jarang ada
tandingannya. Di antara monumen-monumen pengorbanan yang menakjubkan itu
adalah monument istimewa yang dibina oleg tekad baja yang melukiskan
karya Walid bin Al-Walid yang mengerahkan seratus tentaranya, tidak
lebih daripada itu. Mereka menyerbu sayap kiri Romawi yang jumlahnya
tidak kurang dari 40 ribu orang, oleh Khalid berseru kepada seratus
orang yang bersamanya itu, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
tidak ada kagi kesabaran dan ketabahan yang tinggal pada orang-orang
Romawi, kecuali apa yang kalian lihat! Sungguh, aku mengharap Allah
memberikan kesempatan kepada kalian untuk menebas batang leher mereka.”
Seratus orang menyerbu ke dalam 40 ribu pasukan dan kemudian mereka
menang? Anda tidak perlu tercengang! Bukankah hati mereka penuh keimanan
kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar? Iman kepada Rasul-Nya
yang benar lagi terpercaya. Iman kepada ketentuan Allah, yang merupakan
keimanan yang paling banyak membuahkan kebaikan, petunjuk, dan
keberuntungan dalam setiap urusan kehidupan.
Bukankah
Khalifah mereka Abu Bakar, yang benderanya sekarang telah menjulang
tinggi di dunia, dari Madinah, ibukota baru bagi dunia baru, ia sendiri
masih bersedia memerah susu kambing untuk janda yang ditinggal mati
suaminya, dan dengan kedua tangannya mengadukkan roti bagi anak-anak
yatim piatu?
Bukankah panglima mereka adalah Khalid bin
Al-Walid; penawar kecemasan, pembasmi kesombongan, kekerasan,
kedurhakaan, permusuhan, dan Pedang Allah yang terhunus yang akan
menebas unsur-unsur perselisihan, kebencian dan kemusyrikan? Bukankah
kenyaannya memang demikian? Karena itu, berhembuslah, wahai angin
kemenangan! Bertiuplah ruh keperkasaan, keberuntungan, dan kedigdayaan!
Kejeniusan Khalid membuat kagum para panglima Romawi dan komandan
pasukannya, yang mendorong salah seorang di antara mereka, yang bernama
Georgius untuk mengundang Khalid pada saat peperangan berhenti agar
berdialog dengannya. Saat keduanya sudah bertemu, panglima Romawi itu
memulai percakapannya kepada Khalid, ia mengungkapkan, “Tuan Khalid,
jujurlah anda kepadaku, jangan berbohong, sebab orang merdeka tidak
pernah berbohong! Apakah Allah telah menurunkan sebilah pedang kepada
Nabi anda dari langit, lalu pedang itu diberikannya kepada anda, hingga
setiap anda hunuskan terhadap siapa pun, pedang tersebut pasti
membinasakannya?”
“Tidak!” jawab Khalid.
“Mengapa anda dinamai Pedang Allah?”
“Sesungguhnya Allah telah mengutus Rasul-Nya kepada kami, sebagian kami
ada yang membenarkannya, dan sebagian pula mendustakannya. Aku dulunya
termasuk orang yang mendustakannya, sehingga akhirnya Allah menjadikan
hati kami menerima Islam, dan member petunjuk kepada kami melalui
Rasul-Nya, lalu kami berjanji setia kepadanya. Kemudian Rasulullah
mendoakanku, dan beliau berkata kepadaku, ‘Engkaulah Pedang Allah di
antara sekian banyak pedang-Nya.’ Itulah sebabnya aku diberi nama Pedang
Allah.”
“Untuk apa sekalian diseru olehnya?”
“Untuk menauhidkan Allah kepada Islam”
“Apakah orang-orang yang masuk Islam sekarang akan mendapat pahala dan ganjaran seperti anda juga?”
“Benar, bahkan lebih besar.”
“Bagaimana itu terjadi, padahal kalian lebih dahulu memeluknya?”
“Karena kami telah hidup bersama Rasulullah, kami telah melihat
tanda-tanda kerasulan dan mukjizatnya, dan wajar bagi setiap orang yang
telah melihat seperti yang kami lihat dan mendengar seperti yang kami
dengar, akan masuk Islam dengan mudah. Adapun kalian yang belum pernah
melihat dan mendengarnya, namun kemudian kalian beriman kepada yang
gaib, maka pahala kalian lebih besar dan berlipat ganda, bila kalian
membenarkan Allah dengan hati ikhlas serta niat yang suci.”
Panglima Romawi itu pun berseru, sambil memajukan kudanya ke dekat
Khalid dan berdiri di sampingnya, “Ajarkanlah kepadaku Islam itu, wahai
Khalid.”
Akhirnya, panglima Romawi tersebut masuk Islam dan shalat dua rakaat. Itulah satu-satunya shalat yang sempat dilakukannya.
Kedua pasukan itu mulai bertempur kembali. Panglima Romawi Georgius
sekarang berperang di pihak Muslim, dan mati-matian menuntut syahid,
sampai ia mencapainya dan berbahagia mendapatkannya.
Sekarang penulis akan memaparkan suatu kebesaran hati manusia dalam
suatu peristiwa termegah. Saat Khalid sedang memimpin tentara Islam
dalam peperangan yang banyak menimbulkan korban ini dan pada waktu ia
merenggutkan kemenangan gemilang dari cengkeraman tentara Romawi secara
luar biasa, tiba-tiba dikejutkan oleh sepucuk surat yang datang dari
Madinah, yang dibawa oleh seorang kurir Khalifah yang baru, Amirul
Mukminin Umar bin Al-Khatthab. Dalam surat tersebut tercantum salam
penghargaan Al-Faruq kepada seluruh pasukan Islam, berita berkabungnya
terhadap Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah wafat, dan
kemudian memberikan keputusan untuk memberhentikan Khalid dari pimpinan
pasukan dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai gantinya.
Khalid
membaca surat itu dengan tenang dan memohonkan rahmat untuk Abu Bakar
serta taufik untuk Umar. Ia meminta kepada di pembawa surat agar tidak
menceritakan isi surat tersebut kepada siapa pun, menyuruhnya tetap
tinggal di suatu tempat dan tidak meninggalkannya, serta tidak
berhubungan dengan siapa pun. Ia meneruskan pimpinan pertempuran, sambil
menyembunyikan berita kematian Abu Bakar dan perintah Umar sampai
kemenangan benar-benar menjadi kenyataan, yang waktu itu telah dekat
sekali seolah-olah telah berada di tangan.
Genderang
kemenangan telah tiba. Orang-orang Romawi telah takluk dan lari
kocar-kacir. Khalid bin Al-Walid menjumpai Abu Ubaidah sembari
menyampaikan salam hormat seorang prajurit terhadap panglimanya. Abu
Ubaidah pada awalnya menyangka ulahnya itu sebagai canda dari seorang
panglima yang telah mewujudkan kemenangan yang tidak diduga-duga.
Tetapi, tidak lama kemudian ia melihat suatu kenyataan yang
sesungguhnya, maka ia pun mencium wajah Khalid di antara kedua matanya
dan memuji kebesaran jiwa dan akhlaknya.
Riwayat lain dalam
sejarah megatakan, bahwa surat yang dikirim olah Amirul Mukminin Umar
ditujukan kepada Abu Ubaidah dan berita tersebut disimpan saja olehnya,
tanpa sepengetahuan Khalid sampai perang berakhir. Riwayat manapun yang
benar, yang ini atau yang itu, yang penting bagi kita ialah sikap Khalid
pada kedua kondisi tersebut, yang mengungkapkan bahwa ia benar-benar
suatu pribadi yang mengagumkan; penuh keagungan dan kemuliaan. Sejauh
pengetahuan si penulis, tidak satu pun kejadian dalam seluruh kehidupan
Khalid yang menjelaskan keikhlasannya yang mendalam dan kejujurannya
yang teguh, melebihi apa yang ditunjukkan peristiwa ini.
Menjadi seorang panglima ataupun prajurit biasa itu sama saja bagi
Khalid. Menjadi pemimpin seperti halnya prajurit, masing-masing
menanggung kewajiban yang harus ditunaikan terhadap Allah yang ia imani,
terhadap Rasul yang ia baiat, terhadap agama yang telah dipeluknya, dan
ia bernaung di bawah panji-panjinya.
Baktinya yang
diberikan sebagai panglima yang memerintah, sama dengan darmanya yang
dibaktikannya sebagai prajurit yang diperintah. Kemenangan besar
terhadap nafsu ini dipersiapkan baginya sebagai juga bagi orang lainnya
oleh contoh teladan dan perilaku para Khalifah, yang memegang tampuk
pimpinan umat Islam waktu itu. Abu Bakar dan Umar. Itulah dua nama yang
bila saja lidah bergerak menyebutnya, segala sifat keutamaan dan
kebesarannya langsung terbayang dalam hati.
Meskipun
hubungan kasih sayang Umar dan Khalid sesekali merenggang, kebersihan
jiwa Umar, keadilan, ketakwaan, dan kebesaran pribadinya yang luar
biasa, tidak secuil pun diragukan oleh Khalid. Karena itu, tidak ada
alasan untuk meragukan semua keputusan yang diambilnya, karena hati
nurani yang mengeluarkannya, telah sampai ke puncak kesalehan,
kelurusah, keikhlasan, dan kejujuran, sejauh yang dapat dicapai oleh
manusia yang berhati bersih dan terpimpin.
Tak ada sedikit
pun maksud jelek Umar terhadap pribadi Khalid itu. Hanya saja ia merasa
keberatan terhadap pedangnya yang terlalu cepat menggores dan tajam. Hal
ini telah ada dalam bayangannya ketika Umar mengusulkan pemberhentian
Khalid kepada Abu Bakar, menyusul terbunuhnya Malik bin Nuwairah. Kala
itu, ia mengatakan, “Ada sisi kezaliman pada pedang Khalid.” Kezaliman
yang dimaksud adalah sikap kurang hati-hati sehingga kadang-kadang
membunuh jiwa yang tidak semestinya terbunuh.
Khalifah Ash-Shiddiq menjawab, “Aku tidak akan menyarungkan pedang yang telah terhunus oleh Allah atas orang-orang kafir.”
Umar tidak bermaksud bahwa Khalid tidak berhati-hati membunuh dengan
pedangnya. Ia mengarahkan sifat itu kepada pedang Khalid, bukan pribadi
Khalid. Kata-kata itu bukan saja mengungkapkan adab sopan santun,
melainkan juga penilaian baiknya terhadap diri Khalid.
Kehidupan Khalid adalah perang sejak lahir sampai mati. Lingkungan,
pertumbuhan, pendidikan, dan seluruh kehidupannya, sebelum dan sesudah
Islam, merupakan arena bagi seorang pahlawan berkuda yang lihai lagi
ditakuti. Kemudian bahwa kegigihannya pada masa silam sebelum Islam,
peperangan-peperangan yang diterjuninya menentang Rasul dan shahabatnya,
dan pukulan-pukulan pedangnya pada masa kesyirikan yang menjatuhkan
benyak kepala orang yang beriman serta kening-kening para shahabat yang
taat beribadah. Semuanya itu merupakan beban yang berat bagi jiwanya.
Sekarang, ia menjadikan pedangnya sebagai alat yang ampuh penebus masa
lalu, dengan memancung habis segala tonggak kemusyrikan, berlipat ganda
hebatnya dari apa yang telah pernah dilakukannya terhadap Islam. Anda
tentu masih ingat kalimat yang pernah penulis ungkapkan di awal cerita
ini, yang keluar dari lisan Khalid ketika berbicara kepada Rasulullah,
“Ya Rasulullah, mintakanlah ampunan atas semua tindakan menghalangi dari
jalan Allah yang telah kulakukan.”
Sekalipun Rasulullah
telah menjelaskan bahwa Islam telah memaafkan semua kesalahan masa lalu,
Khalid berusaha mendapatkan janji dari Rasulullah saat ia masih hidup
agar beliau memohonkan ampun kepada Allah atas segala perbuatannya di
masa silam itu. Sebilah pedang ketika berada di tangan seorang panglima
berkuda yang tiada duanya seperti Khalid, kemudian tangan yang
menggenggam pedang itu digerakkan oleh hati yang bergelora dengan
kehangatan semangat untuk menebus kesalahan dan menyucikan diri, serta
dipenuhi dengan pembelaan mutlak terhadap agama yang masih dikelilingi
berbagai persekongkolan jahat dan permusuhan. Sungguh, sulit bagi pedang
ini untuk melepaskan diri dari pembawaannya yang keras dan ketajamannya
yang memutus. Beginilah keadaannya, kita lihat pedang Khalid kesukaran
bagi pemiliknya.
Pasca penaklukan Mekkah, Nabi mengutus
Khalid ke beberapa kabilah yang berdekatan dengan negeri Mekkah, dengan
pesan, “Aku mengutusmu ke dai, bukan sebagai prajurit.” Rupanya
pedangnya telah menguasai dirinya yang mendorong kepada perang sebagai
seorang prajurit dan terlepas dari peran seorang dai, sebagaimana wasiat
Rasulullah kepadanya.
Nabi terluka dan berduka ketika
mendengar tindakan Khalid dan sambil berdiri menghadap kiblat, beliau
mengangkat tangannya, memohon ampun kepada Allah dengan ungkapan, “Ya
Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari tindakan yang telah dilakukan
Khalid.” Beliau kemudian mengutus Ali kepada mereka untuk memberikan
tebusan atas darah dan harta mereka.
Kata orang, Khalid
membela dirinya dengan alasan bahwa Abdullah bin Hudzafah As-Sahmi
mengatakan kepadanya, “Rasulullah telah memerintahkan kepadamu agar
engkau memerangi mereka karena mereka menolak Islam.”
Khalid
memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itu mendorongnya
sekuat-kuatnya untuk menghancurkan seluruh dunia lamanya yang menyiksa
hatinya. Kalaulah kita mau memahaminya, itu bisa dilihat saat ia
meruntuhkan berhala ‘Uzza ketika dia dikirim Nabi untuk meruntuhkannya.
Kalau kita melihat bagaimana ia menghancurkan bangunan batu tersebut,
kita pasti menyaksikan seorang lelaki seolah-olah sedang memerangi
barisan tentara seluruhnya.
Ia menebas semua kepala dan
merobek-robek seluruh barisannya dengan kematian. Ia menghantam dengan
tangan kanan dan kirinya, serta dengan kakinya sambil berteriak kepada
runtuhan yang bertebaran dan debu yang berjatuhan, “Ya ‘Uzza, sekarang
engkau diingkari dan tak disucikan lagi. Aku melihat, Allah telah
menghinakanmu.”
Tetapi kita sendiri, karena apa yang kita
harapkan tidak beda dengan yang diharapkan Umar, seandainya pedang
Khalid tidak bertindak keras, kita akan selalu mengulang-ulangi ucapan
Amirul Mukminin, “Takkan ada lagi seorang wanita pun yang akan sanggup
melahirkan laki-laki seperti Khalid.”
Sewaktu ia meninggal
dunia Umar menangis sejadi-jadinya. Kemudian orang-orang mengetahui
bahwa Umar menangis bukan hanya karena kehilangan Khalid semata,
melainkan menangisi lenyapnya kesempatan untuk mengangkatnya kembali
memegang pucuk pimpinan tentara Islam, sesudah berkurangnya kefanatikan
manusia yang berlebih-lebihan kepadanya. Karena, sebetulnya cukup lama
Umar bertekad memulihkan kepemimpinannya itu dan menjernihkan
sebab-sebab pemberhentiannya, kalau tidaklah maut datang menjemput
pahlawan besar itu untuk bersegera pulang ke tempat kembalinya di surga.
Adapun sekarang, bukankah memang waktu bagi dia untuk beristirahat?
Karena, sebelum itu bumi ini belum pernah melihatnya beristirahat
seperti itu dari memerangi musuh. Bukankah sekarang telah datang masanya
bagi jasad yang selalu bekerja keras itu, untuk tidur sekejap? Ialah
pribadi yang sering dilukiskan oleh shahabat-shahabat maupun oleh
musuh-musuhnya, dengan kata-kata, “Orang yang tidak pernah tidur dan
tidak membiarkan orang lain tidur.”
Ia sendiri, seandainya
diperbolehkan memilih, tentu akan memilih agar Allah menambah usianya
agar dapat meneruskan perjuangan meruntuhkan semua bangunan-bangunan
lapuk, dan agar dapat menambah amal dan jihadnya dalam Islam. Semangat
juang dan keharuman namanya akan selalu dikenang sepanjang masa, selama
kuda-kuda perang masih meringkik, mata-mata pedang masih berkilatan, dan
selama panji-panji bendera tauhid masih di atas pundak tentara Islam.
Khalid pernah berkata, “Tidaklah suatu malam yang di dalamnya aku
dihadiahi pengantin atau dikaruniai bayi itu lebih aku sukai daripada
malam yang sangat menegangkan saat aku berada dalam ekspedisi tentara
Muhajirin dan menemui pagi bersama mereka menggempur kaum musyrikin.”
Karena itulah, ada sesuatu yang merisaukan pikirannya sewaktu masih
hidup, yaitu bila ia mati di atas tempat tidur, padahal ia telah
menghabiskan seluruh umurnya di atas punggung kuda perangnya, dan di
bawah kilatan pedangnya. Ia pernah berperang bersama Rasulullah. Ia
telah menundukkan kaum murtad. Ia telah membumiratakan takhta Kerajaan
Persia dan Romawi. Ia yang telah melompat menjelajahi bumi di Iraq
setapak demi setapak, hingga menaklukkannya demi Islam dan di Syria
setapak demi setapak pula, sampai semuanya dipersembahkannya ke haribaan
Islam.
Khalid ialah seorang panglima, dengan kesukaran
hidup seorang prajurit dan kerendahan hati. Ia juga seorang prajurit
dengan tanggung jawab seorang panglima dengan keteladanannya. Seorang
pahlawan perang yang hatinya risau bila mati di atas tempat tidurnya.
Ketika itu, ia berkata sambil meneteskan air mata, “Aku telah ikut serta
dalam pertempuran di mana-mana. Seluruh tubuhku penuh dengan tebasan
pedang, tusukan tombak, dan tancapan panah. Namun, kini aku harus mati
di atas ranjangku dalam keadaan terbujur laksana matinya seekor unta.
Sungguh, mata para pengecut tidak akan tertidur.”
Itulah
kata-katanya. Kata-kata itu tidak akan diucapkan seseorang dalam suasana
demikian, kecuali ia seorang lelaki jantan seperti dia! Dia mengucapkan
pesan itu saat hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tahukah anda kepada siapa ia berpesan? Yaitu kepada Umar bin Al-Khatthab sendiri.
Tahukah anda kekayaan apa yang ditinggalkannya? Hanya kuda perang dan pedangnya.
Kemudian apa lagi? Selain itu, tidak ada barang berharga yang dapat dinikmati atau dimiliki orang.
Hal itu karena seumur hidupnya tidak pernah dipenuhi keinginan, kecuali
menikmati kemenangan dan Berjaya mengalahkan musuh kebenaran. Tak satu
pun kesenangan dunia yang mempengaruhi keinginannya.
Ada
satu lagi yang tertinggal, yaitu suatu barang yang dijaganya
mati-matian. Barang itu berupa kopiah. Suatu ketika, kopiah itu terjatuh
dalam Perang Yarmuk lalu ia dan orang lain harus bersusah payah untuk
mencarinya. Ketika orang lain mencelanya karena itu, ia berkata, “Di
dalamnya terdapat beberapa helai rambut dari ubun-ubun Rasulullah. Aku
merasa optimis dan berharap kemenangan dengan (keberkahan)nya.”
Akhirnya jenazah pahlawan besar ini keluar dari rumahnya diusung oleh
para shahabatnya. Ibu dari sang pahlawan memandangnya dengan kedua mata
yang bercahaya memperlihatkan kekerasan hati, tetapi disaput awan duka
cita, lalu melepasnya dengan kata-kata:
Engkau lebih baik daripada jutaan orang
Karena engkau berhasil membuat wajah mereka tertunduk
Soal keberanian, engkau lebih berani daripada singa betina
Yang sedang mengamuk melindungi anaknya
Soal kedermawanan, engkau lebih dermawan daripada air yang mengalir deras
Yang terjun dari celah bukit curam ke lembah.
Umar mendengar ucapan tersebut, maka hatinya bertambah duka dan
terharu. Air matanya jatuh berderai, “Engkau benar! Demi Allah, ia
memang seperti itu.”
Kini tingallah pahlawan itu di
pembaringannya. Para shahabatnya tegak berdiri dengan khusyuknya, dunia
sekeliling mereka hening, tenang dan sepi. Keheningan yang mengharukan
itu, tiba-tiba dipecahkan oleh ringkikan dan dengusan kuda yang datang,
sebagaimana yang dapat kita bayangkan, sesudah melepaskan tali
kekangnya, segera mendompak dan melompat lalu berlari melintasi
jalan-jalan Madinah menyusul dari belakang jenazah tuannya, pemilik, dan
penunggangnya, sementara keharuman jenazah itu semerbak membawanya ke
arah tujuan.
Sewaktu kuda itu sampai ke dekat ke kumpulan
orang-orang yang sedang termenung menghadapi permukaan kubur yang masih
basah. Ia menggerak-gerakkan kepalanya bagaikan mengibarkan panji
perang, disertai dengan dengusan yang merendah, seperti yang
dilakukannya selagi pahlawannya masih hidup menaiki punggungnya, pergi
bertempur mengguncangkan istana-istana dan takhta Kerajaan Persia dan
Romawi, menghilangkan segala angan-angan keberhalauan dan kedurhakaan,
dan mengikis habis segala kekuatan kemusyrikan dan kemunduran yang
merintangi jalan Islam.
Kuda itu terhenti dan matanya
menatap kubur tanpa menoleh sedikit pun. Ia menggoyang-goyangkan
kepalanya naik turun, seakan-akan melambai kepada tuan dan pahlawannya,
untuk memberikan hormat dan menyampaikan salam perpisahan. Kemudian ia
tertegun, dengan kepala terangkat ke atas dan kening yang meninggi, lalu
mengalirlah air matanya yang deras.
Kuda ini telah
diwakafkan Khalid bersama pedangnya untuk jalan Allah. Tetapi, adakah
orang berkuda lainnya yang sanggup menungganginya sesudah Khalid? Maukah
ia merendahkan punggungnya bagi orang lain? Wahai, pahlawan yang selalu
Berjaya, wahai fajar di setiap malam. Engkau telah mengangkat tinggi
moral pasukanmu, dengan ucapan setiap bergerak maju, “Kala subuh datang
menjelma, pejalan-pejalan malam melantunkan pujian.”
Kata-katamu itu telah menjadi kata-kata mutiara. Dan engkau telah
menyelesaikan perjalanan malammu. Temuilah pagi hari dengan memuji,
wahai Abu Sulaiman! Sebutan namamu sangat mulia, harum mewangi, kekal
abadi, wahai Khalid! Biarkanlah kami mengulang-ulangi bersama Amirul
Mukminin ucapan kata-kata yang sedap, manis, dan indah yang dilantunkan
untuk meratapi dan melepas kepergianmu; Rahmatullah bagi Abu Sulaiman.
Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada yang di dunia
Ia hidup terpuji dan berbahagia setelah mati.
0 komentar:
Posting Komentar